The
Mist of Romantic Corner [ Part 3 ]
Berchtesgadener Land Forest
Bulan
bersinar cukup terang malam itu meski langit Berchtesgadener Land cukup
berkabut karena cuaca dingin. Malam ini malam bulan purnama. Bulan tampak bulat
penuh dikegelapan langit malam. Sejak penemuan mayat laki-laki tak dikenal di
dekat Bad Reichenhall, Mo berpatroli hampir setiap malam di hutan-hutan
disekitar Berchtesgadener Land. Mayat laki-laki itu bukan tewas karena diserang
binatang buas, tapi karena serangan Moroi. Hanya Mo yang tahu hal itu dan dia
menjaga agar tidak ada orang lain yang tahu atau akan terjadi kepanikan massal
di Berchtesgadener Land.
Mo
tiba disebuah tanah lapang yang cukup besar dimana bulan dapat menyinari
seluruh area itu. Dia berdiri lama disitu. Dia teringat sebuah mitos Jerman
kuno tentang teori Lycan. Di mitos itu dikatakan, siapapun yang menghadapkan
mukanya langsung kearah bulan purnama, maka ia akan menjadi Lycan. Mo
bertanya-tanya apakah dulu kakek moyangnya melakukan hal itu sehingga kini keluarganya
menanggung kutukan Lycan.
Mo
menengadahkan mukanya kearah bulan. Sinar bulan menerpa wajahnya dengan lembut.
Dia memejamkan mata. Mendengarkan suara alam Berchtesgadener Land yang sangat
ia kenal sejak kecil. Suara anginnya, gesekkan dedaunannnya, binatang-binatang
malamnya. Semua melodi itu sungguh harmonis dan menyejukkan bagi Mo, tapi semua
berubah sejak kedatangan para Moroi itu..
Mo
membuka mata, kemudian memandang kedua tangannya. Kuku-kukunya kini telah
tumbuh sepanjang dua senti dan setajam pisau hingga hampir bisa merobek apa
pun. Dua buah gigi taring pun telah tumbuh dipinggir2 mulutnya. Setiap malam
bulan purnama, Mo akan mengalami hal itu. Dia tidak menjadi Lycan sepenuhnya
seperti ayahnya dulu. Dia masih dalam sosok manusianya, dengan akal sehatnya
tapi memiliki kekuatan dan kecepatan yang menyamai Lycan sepenuhnya.
Mo
memejamkan matanya lagi kemudian menarik napas dan menghembuskannya lagi. Dan
kini matanya yang tadinya berwarna hitam berubah menjadi silver, senada dengan
warna rambutnya. Dia bisa melihat cukup jelas di kegelapan malam sekarang.
“AAAAAA!!!!”
terdengar sebuah teriakan dari dalam hutan. Mungkin jaraknya beberapa kilometer
dari tempat Mo berdiri,tapi Mo bisa mendengarnya cukup jelas. Mo langsung
berlari kedalam hutan mencari sumber suara teriakan itu.
#####
“AAAAAA!!!!”
JMin berteriak ketika salah seorang pria berhasil menangkapnya saat ia berusaha
melarikan diri dari mereka. Dia adalah seorang pelari yang cepat sebenarnya,
selalu menempati posisi pertama bila ada perlombaan lari disekolah maupun
dikampusnya. Tapi kecepatan mereka ternyata lebih baik dari JMin.
“Lepaskan
aku!” JMin meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Kakinya menendang perut pria
itu dengan keras, tapi tampaknya pria itu tidak merasakan sakit.Lalu pria itu
menjatuhkan JMin ketanah dengan agak keras. JMin mengaduh. Kini kedua pria itu
berdiri didepannya, memandangnya dengan tatapan aneh, seperti harimau yang
sedang ingin memakan mangsanya.
“Ayo
kita habisi dia!” seru salah satu dari mereka. JMin berusaha menarik diri
kebelakang ketika para pria itu mendekatinya perlahan-lahan dengan wajah
menyeringai. JMin tidak tahu harus berbuat apa. Dia ingin berteriak tapi
suaranya seperti tidak bisa keluar saking ketakutannya. Air matanya mulai
menetes perlahan dari sudut-sudut matanya. Salah seorang dari pria itu mencekik
leher JMin dengan kuat hingga tubuhnya terangkat dan terdesak ke sebuah batang
pohon yang besar. JMin berusaha melepaskan pegangan pria itu dari lehernya,tapi
pria itu mencengkram lehernya dengan sangat kuat.
“Siapa
mereka?” batin JMin yang terkejut dengan kekuatan dan kecepatan mereka yang
melebihi manusia normal. Seorang manusia biasa tak mungkin sanggup mengangkat
tubuh seseorang hanya dengan satu tangan, dengan cara mencekik leher pula. Itu
tidak mungkin.
“
Cepat lakukan, Damien!” seru pria yang mengangkat tubuh JMin kepada temannya.
Damien pun bersiap. Dia mengarahkan tangan kanannya yang berkuku cukup panjang
dan tajam kearah bawah dada JMin hendak menusuknya, tapi belum sempat ia
melakukannya dirinya tiba-tiba roboh dengan sebuah kapak yang tertancap
dipunggungnya.
Temannya
yang melihat itu terkejut kemudian melepaskan tangannya dari leher JMin. Tepat
saat pria itu berbalik untuk mencari tahu penyerang Damien, seseorang meninju
wajahnya dengan sangat keras hingga pria itu tersungkur. Pria itu langsung
bangkit, disusul dengan Damien. Meski sebuah kapak menancap dipunggungnya,
Damien masih mampu berdiri tegak. Dia tidak terlalu peduli dengan darah segar
yang terus mengalir dari luka dipunggungnya karena ia tidak akan mati semudah
itu.
JMin
masih terbatuk-batuk, berusaha mengatur napasnya. Wajahnya berubah pucat karena
ia hampir kehabisan napas karena pria itu mencekiknya dengan kuat. Beruntung
seseorang menolongnya tepat waktu. JMin melihat ke arah laki-laki yang
menolongnya. Seorang pria berambut silver, tapi JMin tidak bisa melihat
wajahnya dengan jelas.
“rrrrgggh~
Lycan!” seru Gregory-pria yang tadi mencekik JMin. Gregory menggeram. Dia
menyeringai kearah pria berambut silver yang tadi menyelamatkan JMin. Secepat
kilat, Gregory menyerang pria itu dengan kuku-kuku tangannya yang tajam. Dengan
gesit pria itu menghindar, dan melompat kearah belakang Damien dan mencabut
kapaknya. Damien meringis. Dia memandang marah ke arah pria itu kemudian menyerangnya.
Ketiganya
kini tengah bertarung sengit. Meski hanya seorang diri, tapi pria berambut
silver itu mampu menandingi kekuatan dan kecepatan Gregory dan Damien.
JMin
memanfaatkan pertarungan mereka untuk melarikan diri darisitu. Dia mengumpulkan
semua tenaganya lalu berlari meninggalkan mereka. JMin tidak tahu kemana dia
harus pergi, yang ia pikirkan sekarang ia harus menghindari mereka secepatnya
dan mencari pertolongan atau tempat persembunyian. Ketika dirasa sudah agak
jauh JMin berhenti sejenak untuk mengambil napas.
“
Tidak secepat itu, Miss” tiba-tiba Damien sudah berada dibelakangnya. Damien
mendorong tubuh JMin dengan keras hingga tersungkur ditanah. Belum sempat JMin
bangkit, Damien sudah berada didepannya dan mencengkram lehernya dengan kuat.
Sekali lagi tubuh JMin terangkat,namun cengkraman Damien lebih kuat dari
Gregory. JMin hampir kehabisan napas. Lehernya memerah dan mengeluarkan darah
karena terkena kuku-kuku Damien. Pandangan JMin mulai buram, dia hampir yakin
bahwa dirinya akan mati sebentar lagi. JMin pun tak sadarkan diri.
“Baattttss!!”
Mo mengarahkan kapaknya tepat keleher Damien. Kepala Damien pun langsung
tertebas dan terlempar beberapa meter. Seketika itu pula, tubuh Damien terbakar
hebat. Mo menendang tubuhnya hingga menjauhi gadis yang tadi ia cekik. Gadis
itu sudah pingsan sebelum Mo datang.
“
Mereka selalu merepotkan” keluh Mo sambil menenteng kepala Damien kemudian
melemparkannya ke kobaran api yang membakar tubuhnya. Dia sudah lebih dulu
menghabisi Gregory semudah saat ia tadi menghabisi Damien. Mo hampir tidak
menemui kesulitan sama sekali bila harus berhadapan dengan Moroi. Dirinya jauh
lebih kuat dan cepat daripada mereka.
Mo mengambil kapaknya
kemudian beranjak pergi dari situ. Setelah beberapa langkah ia berhenti. “Oh
ya~ aku lupa gadis itu” ujarnya. Dia pun berbalik dan menghampiri gadis itu.
Gadis itu masih pingsan disana. Dia mengenakan kaos putih berlengan pendek yang
cukup tipis diudara sedingin ini dengan paduan jeans hitam panjang yang sudah
terlihat kotor karena peristiwa tadi.
Mo
memeriksa lehernya, terdapat bekas cengkraman tangan dan luka terkena sayatan
kuku tajam Moroi itu. Mo juga memeriksa di sekeliling lengan gadis itu. Tidak
ada bekas luka gigitan dimana pun. “Berarti dia bersih” gumamnya pelan.
Mo memandangi wajah
gadis itu. Usianya mungkin beberapa tahun lebih muda dari Mo, dengan rambut
coklat muda yang terurai hingga dada. “Hmm~
cantik, tapi aku belum pernah melihatnya di Berchtesgaden” kata Mo. Dia
sudah tinggal di Berchtesgadener Land seumur hidupnya, dia hampir mengenal
semua penduduknya. Tapi Mo belum pernah melihat gadis ini. “Mungkin ia hanya
turis” katanya lagi. Mo tampak berpikir sejenak untuk memilih apakah ia akan
meninggalkannya disitu atau membawanya pulang kepondoknya tapi kemudian dia pun
mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya didepan membawanya kepondoknya.
######
Mo
membaringkan gadis itu dikasur busanya yang cukup luas yang tergeletak begitu
saja dilantai kayu kamarnya. Dia melepaskan sepatu boots gadis itu kemudian meraih
kotak obat yang ada dilemari yang tak jauh dari kasurnya. Dia pun mulai
membersihkan luka dileher gadis itu. Wajahnya cukup dekat dengan wajah gadis
itu hingga Mo bisa mendengar napasnya yang teratur. Mo kembali memandangi wajah
gadis itu, dia merasakan aura yang tidak biasa dari gadis itu.
Ada
sebuah gerakan dari gadis itu saat Mo membersihkan lukanya. Tak lama kemudian
mata gadis itu mulai membuka dan terkejut saat melihat wajah Mo begitu dekat
dengan wajahnya.
“What
are you doing???” gadis itu mendorong tubuh Mo kemudian menarik selimut dan
menutupi tubuhnya. Dia menghela napas lega saat tahu ia masih berpakaian
lengkap.
“Hey!
Ich will einfach nur, um die wunde zu reinigen!” Mo membela diri. Gadis itu
masih menatap Mo curiga. Dia melihat Mo sedang memegang sebuah kapas dan
alkohol yang mungkin akan digunakannya untuk membersihkan lukanya.
“
Es tut mir leid” kata gadis itu sambil menunduk.
“
Kau bukan orang Jerman ya?!” tanya Mo saat gadis itu menjawabnya dengan aksen
Jerman yang kaku khas turis.
“
Bukan” gadis itu menjawab pelan. Dia masih menarik selimutnya hingga leher.
“
Ini. Bersihkan sendiri lukamu” Mo meyerahkan kapas dan alkoholnya pada gadis
itu. Kemudian dia duduk agak menjauh dari gadis itu. Mo duduk didekat perapian.
Dia duduk menghadap perapian kecil yang ada dikamarnya dan membelakangi gadis
itu. Gadis itu mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan kamar Mo. Kamar itu
cukup luas untuk ukuran kamar tidur biasa. Di ruangan itu hanya terdapat sebuah
kasur busa yang cukup besar untuk ditiduri dua orang yang diapit oleh dua meja
kecil. Lalu ada sebuah lemari pakaian yang terletak didekat pintu.
Didepan
perapian mungil itu ada sebuah karpet besar dan beberapa bantal besar agar bisa
menghangatkan diri disitu seperti yang dilakukan Mo saat ini. Gadis itu
kemudian memandang Mo. Dia ingat dengan rambut silvernya. “Pria ini yang
menyelamatkanku?” kata gadis itu dalam hati.
“
Apa kau punya cermin?” gadis itu memberanikan diri bertanya pada Mo. Dia agak
susah membersihkan luka dilehernya sendiri tanpa bantuan cermin.
“Tidak”
jawab Mo singkat.
“
Aku tidak bisa membersihkannya tanpa cermin” ujar gadis itu malu-malu
“Lalu?”
sahut Mo cuek sambil menyodok-nyodok arang yang ada di perapian untuk membuat
api lebih menyebar. Gadis itu mengerucutkan bibirnya melihat sikap Mo yang acuh
padanya. Akhirnya gadis itu mencoba membersihkan lukanya tanpa menggunakan
cermin. Mo memandang gadis itu “Mungkin seharusnya aku tinggalkan saja ia
dihutan” batinnya. Akhirnya Mo bangkit mendekati gadis itu. Gadis itu kembali
menarik selimutnya hingga leher ketika Mo mendekatinya
“
Kau mau apa?” tanya gadis itu agak takut
“
Sini kubersihkan lukamu” Mo mengambil kapas dan alkohol dari tangan gadis itu.
Dia menuangkan beberapa tetes alkohol ke kapas kemudian mengusapnya pelan ke
luka di leher gadis itu. Gadis itu meringis pelan karena perih. Tapi kemudian
gadis itu menghempaskan tangan Mo dari lehernya.
“
Kau salah satu dari mereka!” seru gadis itu ketika melihat kuku Mo yang persis
seperti kedua pria yang menyerang.
“
Enak saja! Apa aku terlihat seperti mereka?” bentak Mo
“
Iya! Tanganmu! Dan kau juga punya taring seperti mereka!” gadis itu balas
membentak Mo.
“Jangan
mendekat!” gadis itu mengambil gunting kecil yang ada dikotak obat kemudian
mengarahkannya pada Mo. Tangan gadis itu terlihat agak gemetar.
“
Terserahlah!” bentak Mo lagi. Dia meletakkan kembali kapas dan alkohol kekasur
sambil melotot kearah gadis itu. Dia pun kembali menuju kedekat perapian,
mengatur bantal-bantalnya kemudian membaringkan diri.
JMin
memandang kearah pria itu. Pria itu kini berbaring didekat perapian. “ Dia
seperti mereka” katanya dalam hati. Dia tetap menggenggam guntingnya dan
berpikir untuk melarikan diri dari situ. “ Tapi kenapa ia menyelamatkanku?”
kata JMin lagi dan berpikir kembali untuk kabur dari pondok itu sementara
diluar sedang hujan deras. Udara menjadi semakin dingin, JMin kembali menarik
selimutnya. Jaketnya hilang entah dimana saat ia berusaha melarikan diri dari
kedua pria yang menyerangnya tadi. Dia
mengambil kapas dan alkohol kemudian berjalan mendekati pria itu.
“
Maafkan aku” kata JMin dengan nada bersalah. Dia kemudian duduk didekat pria
itu. Pria itu masih memandang kearah perapian
“
Ya” jawab pria itu acuh
“
Please~” pinta JMin sambil mengulurkan kapas dan alkoholnya kearah pria itu.
Pria itu memandang JMin sejenak. Kilatan api di perapian terpantul jelas
dimatanya yang berwarna silver. JMin sempat terkesima sesaat melihat mata pria
itu. Pria itu kemudian bangkit dan mengambil kapas dan alkohol dari JMin. Dia mendekat
kearah JMin kemudian mengusap pelan luka dileher JMin dengan hati-hati agar
kukunya yang panjang tidak mengenai leher JMin
“Awww~
pelan2!” JMin meringis karena merasakan perih dilukanya.
“Makanya
kau jangan bergerak” Pria itu mengangkat dagu JMin dengan perlahan. JMin kini
bisa melihat dengan jelas kuku-kuku tajam pria itu saat tangannya memegangi
pipi JMin. Wajah mereka kini sangat berdekatan hingga JMin bisa merasakan
hembusan napas pria itu dilehernya.
“Kau
tahu, kuku mereka juga beracun sepertinya” ujar Mo saat ia merekatkan plester
dibeberapa luka di leher JMin
“
Apa?” JMin tersentak kaget
“
Kalau mereka sampai menggigitmu, kau bisa mati, atau yang terburuk menjadi
seperti mereka” Mo melanjutkan. JMin bergidik. Dia bersyukur tidak sampai tergigit
oleh mereka. Kini ia mulai sadar siapa sebenarnya kedua pria yang menyerangnya.
Mereka adalah vampir dan mungkin pria yang ada didepannya kini juga seorang
vampir. Biasanya JMin hanya tahu vampir dari film atau novel tapi malam ini ia
mengalaminya sendiri.
“
Itu yang terjadi? Mereka menggigitmu?” JMin bertanya.
“ Aku bukan seperti
mereka!” bentak Mo lagi
“
Lalu kau ini apa?” balas JMin
“
Aku.. ah sudahlah!” Mo enggan menjawab pertanyaan JMin. Selama ini hanya Ebert
yang tahu tentang perubahan fisiknya saat bulan purnama dan rahasia tentang
dirinya yang seorang Lycan. Mo tidak ingin orang lain tahu tentang dirinya yang
sebenarnya tapi kenyataannya kini gadis itu melihat dirinya saat berubah
menjadi setengah Lycan.
“
Kau tidak akan membunuhku kan?!” tanya
JMin. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, pertanyaannya meluncur
begitu saja dari mulutnya. Kini dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia ingin
melarikan diri dari pondok pria itu, tapi diluar sedang hujan deras dan JMin
sama sekali tidak tahu arah jalan pulang sementara ia berada ditengah-tengah
hutan belantara dimalam hari bersama seorang pria asing yang aneh. Dia hanya
berharap dalam hati semoga pria ini tidak berbuat macam2 dengannya atau bahkan membunuhnya.
“
Hey! Kau tidak akan membunuhku kan?!” JMin mengulang pertanyaannya lagi. Dia
agak kesal pria itu mengacuhkannya
“
Iya” jawab Mo singkat
“
Iya apa?” tanya JMin lagi
“
Iya aku tidak akan membunuhmu” jawab Mo
“
Kau janji?” JMin bertanya lagi
“
Iya”
“
Iya apa?”
“
Iya aku janji”
“ Janji
apa?”
“
Astaga! Kau ini apa-apaan?!” Mo mulai kesal dengan gadis itu. Dia mendelik kearah gadis itu
“
Janji apa?” JMin bertanya lagi, tidak mengindahkan delikan Mo.
“
Iya aku janji tidak akan membunuhmu! Puas?” kata Mo agak keras. Dia sudah
benar-benar kesal karena JMin terus mengulang pertanyaannya.
“Nah
begitu dong! Janji itu harus diucapkan dengan jelas agar bisa
dipertanggungjawabkan di kemudian hari, jadi kalau terjadi sesuatu yang…” belum sempat JMin menyelesaikan kalimatnya,
tiba-tiba mulut Mo membekap mulutnya. JMin bisa merasakan taring-taring Mo
menyentuh bibirnya
“
Kalau kau masih tidak bisa diam, aku akan melakukan lebih dari itu” kata Mo
setelah ia melepaskan bibirnya dari bibir JMin. Pria itu kemudian bangkit dan
beranjak ke kasur dan berbaring disana. Meninggalkan JMin yang masih terdiam
karena peristiwa tadi
“What
the hell is he doing?” serunya dalam hati. JMin benar-benar kaget saat Mo
tiba-tiba saja menciumnya. Dia tidak pernah berciuman dengan seorang pria
sebelumnya, setidaknya dengan pria asing yang baru ia kenal dalam semalam. JMin
begitu kesal, ingin rasanya dia memukul pria itu karena telah lancang
menciumnya.
“ Apa yang kulakukan? Kenapa malah menciumnya?”
batin Mo saat berbaring dikasur dan memunggungi gadis itu. Entah kenapa saat
gadis itu berada didekatnya, Mo merasakan getaran yang sangat aneh yang
menjalar disekujur tubuhnya. Itulah kenapa dia tadi berpikir sejenak untuk
membawanya ke pondoknya atau membiarkannya dihutan. Dia takut bila gadis itu
berada didekatnya, dia malah akan menyakiti gadis itu.
#####
Keesokan paginya
JMin
terbangun ketika angin lembut menerpa wajahnya. Dia membuka matanya perlahan.
Api di perapian sudah padam. Cahaya matahari masuk dengan lembut melalui
jendela yang terbuka dikamar itu. JMin bangkit dan memandang kearah kasur
dimana Mo tidur semalam. Mo tidak ada disana, dan kasur itu telah rapi. JMin
beranjak menuju pintu. Ternyata pondok itu terdiri dari dua lantai dan kamar
itu terletak dilantai dua. JMin menuruni tangga dengan hati-hati, takut
kalau-kalau pria itu menyerangnya.
Lantai
dasar pondok itu lebih besar dari ruangan kamar dilantai dua. JMin masuk
kedapur, perutnya agak lapar karena semalam tidak sempat makan malam karena ia
tersesat dihutan, kemudian dia diserang dua orang vampir yang haus darah dan
diselamatkan oleh seorang pria aneh. JMin sedikit berharap ada makanan didapur
itu.
“
Aku tidak punya makanan” suara Mo mengejutkan JMin saat pria itu masuk kedapur.
“
Ini” Mo melemparkan sebuah apel kepada JMin. Dia agak terkejut saat JMin dengan
sigap menangkap apel itu. JMin agak ragu untuk menggigit apel itu.
“
Tenang saja, itu tidak beracun” kata Mo cuek. Tapi JMin masih terlihat ragu
untuk memakannya.
“
Astaga~” Mo berjalan kearah JMin merebut apel itu dan menggigitnya
“
Kenapa kau menggigitnya?” ujar JMin kesal karena Mo menggigit apelnya
“
Untuk menunjukkan padamu kalau itu tidak beracun” balas Mo
“
Aku tidak berpikir ini beracun” sahut JMin
“
Kau.. ah sudahlah!” Mo meninggalkan JMin yang masih terlihat kesal karena apelnya
dimakan.
“
Menyebalkan. Mestinya kutinggalkan saja dia hutan semalam” Mo menggerutu pelan
saat ia naik kekamarnya. JMin akhirnya tetap memakan apel itu sampai habis. Ia
tidak punya pilihan lain, setidaknya apel itu bisa mengganjal perutnya yang
lapar. JMin keluar dari pondok melalui pintu yang berada didapur. Udara masih
cukup dingin, rerumputan dan pepohonan masih terlihat basah karena hujan
semalam. JMin menghirup udara pagi hutan Berchtesgaden yang masih sangat
bersih. Dia tadinya benar-benar senang berada Berchtesgaden karena
pemandangannya yang menakjubkan. Namun, setelah serangan vampir semalam, JMin
berpikir dua kali untuk mengunjungi Berchtesgaden lagi nantinya.
JMin
ingin sekali kembali ke kota secepatnya, tapi kini ia berada ditengah-tengah hutan
dan tak tahu arah menuju kota Ramsau bei Berchtesgaden.
“
Kau menginap dimana? “ JMin tersentak
saat Mo datang dari arah belakangnya. Pria itu kini memakai long coat panjang
yang cukup tebal. Dia membawa sebuah sweater hitam kemudian menyerahkannya pada
JMin.
“
Ramsau bei Berchtesgaden “ jawab JMin pelan dan mengenakan sweater itu. Sweater
tampak kebesaran saat dipakainya sehingga JMin menggulung lengannya beberapa
kali.
“
Ayo!” Mo mengisyaratkan JMin untuk mengikutinya. Dia berjalan menuju hutan
“Mau
kemana?” tanya JMin sambil menyusul Mo
“
Kau mau pulang tidak?”
“
Eh! Kau mau mengantarku pulang?” JMin senang karena akhirnya Mo mau
mengantarnya pulang.
“
Tidak. Aku akan menunjukkan jalan ke Ramsau bei” sahut Mo cuek sambil terus
berjalan. JMin mengikutinya dibelakang. Dia tertawa kecil karena senang
akhirnya bisa kembali kehotel. JMin menarik kata-katanya sendiri bahwa Mo
adalah seorang vampir karena saat ini Mo berjalan santai dibawah sinar matahari
pagi. “Dia tegap sekali” batin JMin saat berjalan dibelakang Mo. JMin tersenyum
melihat punggung Mo. Punggung itulah yang melindungi dirinya semalam dan kini
menuntunnya pulang.
Mo
berjalan dengan langkah pasti saat menyusuri hutan Berchtesgaden seperti hutan
itu adalah halaman belakang rumahnya. JMin menjejeri langkahnya, gadis itu
terlihat agak lelah karena Mo berjalan cepat.
“
Hei, kita belum berkenalan. Aku JMin” JMin mengulurkan tangannya tapi Mo tidak
mengindahkannya dan malah berjalan lebih cepat.
“
sombong sekali” JMin menggerutu
“
Mo” jawab Mo agak keras karena mendengar JMin menggerutu
“Eh~
Apa?”
“
Namaku Mo”
“Ohh~
Mooo~” JMin mengucapkan nama Mo dengan nada panjang. Mo berbalik, kemudian
melotot kearah JMin. JMin tertawa kecil. “ Nama yang lucu untuk seorang
laki-laki aneh seperti dia” kata JMin dalam hati.
“
Itu jalan menuju Ramsau bei” ujar Mo saat ia berhenti didepan dua kelokan jalan
kecil. JMin maju beberapa langkah melewati Mo. JMin sudah bisa melihat
atap-atap rumah di Ramsau bei dari tempat ia berdiri sekarang
“
Kau tidak pergi bersama…” JMin berbalik dan mendapati Mo sudah tidak berada
dibelakangnya.
“
Kemana dia? Kenapa cepat sekali perginya?” JMin menengok kesegala arah, tapi
sosok Mo tidak ada dimanapun
“
Jangan-jangan dia hantu??!!” JMin bergidik. Kemudian melangkah cepat kearah
kota Ramsau bei Berchtesgaden.
[ to be continued ]
by @hiki0717
by @hiki0717
Glosarium
1. Ich
will einfach nur, um die wunde zu reinigen : I just want to clean the wound
2. Es
tut mir leid : I’m sorry
No comments:
Post a Comment