Hello, this is my 1st FF yang bersetting
di Eropa tapi tetap berasa Korea XD So, ada sedikit penyesuaian tentang nama
tokoh2nya ya ;) untuk di part ini, inilah penyesuaiannya :
1. Jessamine
Shaw aka JMin : Oh Jimin
2. Mortimer
Jung : Jung Mo Kim (
TRAX )
3. Jay : Jay Kim (
TRAX )
4. Reus
(dibaca: Ros) : Rose ( No Min
Woo )
P.S : Gak hanya di Korea, surname Jung juga cukup
banyak dipake orang Jerman XD #fakta. Okay, just enjoy reading and please
comment ;) Thanks anyway ;)
Edinburgh, menjelang tengah malam.
“
Well. I should go home now “ kata JMin saat ia melirik arlojinya. Pukul 11
malam. JMin mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Hanya tinggal ia yang
berada diruangan itu. Rupanya ia terlalu larut dalam pekerjaannya hingga tak
memperhatikan bahwa rekan-rekan kerjanya telah pulang. Ponselnya berdering.
Sebuah pesan masuk diterima
“
Kau sudah pulang? Jangan terlalu memaksakan diri. Masih ada hari esok.Cepatlah
pulang!” singkat,padat dan jelas begitulah gaya Jessica-sahabat sekaligus rekan
kerjanya- Jessica selalu mengingatkannya ini itu. Seakan JMin adalah seorang
pelupa.
“
okay, grandma” balas JMin. JMin selalu memanggil Jessica dengan sebutan grandma
karena sikapnya seperti nenek2 yang selalu cerewet. JMin tersenyum kecil.
Setidaknya dia memiliki seseorang yang memperhatikannya di Edinburgh dimana dia
harus jauh dari orangtuanya yang tinggal di Derbyshire, Inggris.
JMin mengemasi barang-barangnya lantas mematikan
lampu dimeja kerjanya dan beranjak keluar ruangan. Dia menyapa petugas keamanan
yang sedang berjaga saat ia melewati lobby kantornya. Meski ada bus, tapi JMin
lebih suka berjalan kaki saat pulang karena jarak kantor dan apartemennya tidak
begitu jauh. Udaranya menjadi semakin dingin di Cowgate saat malam. JMin
merapatkan mantelnya dan memasukkan kedua tangannya kedalam saku.
Hembusan angin yang
cukup pelan melewati tubuhnya, JMin menoleh kebelakang. Tidak ada siapa2. Tapi
dia yakin ada seseorang yang mengikutinya. Dia punya insting yang cukup baik
soal itu. Bakatnya sejak lahir dan JMin sangat bersyukur karenanya. Beberapa
kali instingnya menolongnya saat dirinya terdesak.
JMin mempercepat
langkahnya saat lewat di area Edinburgh Vaults. Meski ia bukan penakut, tapi
kisah horor tentang Burke dan Hare yang sangat terkenal di Edinburgh Vaults
cukup membuatnya bergidik malam itu. Terlebih lagi dia melewatinya saat
menjelang tengah malam dan jalanan dalam keadaan sepi.
JMin
memasuki terowongan di Cowgate arch dan seketika itu pula JMin merinding. Memang
ada orang yang mengikutinya. Suasana disekitar Cowgate lumayan suram dan sepi terlebih lagi suasana
didalam terowongan agak gelap membuatnya susah melihat. JMin menoleh kebelakang
lagi untuk memastikan. Benar-benar tidak ada orang. JMin berbalik lagi
kemudian..
“Ah!
Oh My God!” seru JMin saat seorang pria asing sudah berada didepannya saat ia
berbalik. JMin terkejut bukan main. Pria itu memandang JMin tanpa ekspresi.
JMin bergidik takut. Dia bisa saja menendang pria itu dengan salah satu jurus
taekwondonya. Tapi pria itu terlihat tidak akan menyakitinya. Dan JMin
merasakan aura aneh disekitar pria itu
“
Sebaiknya jauhi tempat gelap, Miss” kata pria itu dengan nada berat sambil
menatap lurus kearah JMin. Logatnya agak aneh untuk orang Edinburgh bahkan
untuk orang Inggris sekalipun. JMin terdiam sesaat.
“Baiklah”
jawab JMin singkat. Entah apa yang dipikirkan JMin. Jawabannya meluncur begitu
saja dari mulutnya. Pria itu tersenyum. JMin ikut tersenyum seakan terhipnotis.
Bukan kebiasaannya sebenarnya tersenyum begitu saja pada orang asing yang aneh
tapi JMin merasa pernah bertemu dengan orang itu.
Pria
itu bergeser sedikit untuk memberi jalan pada JMin. Dengan cepat JMin pun
berjalan melewati pria itu. Setelah beberapa langkah, JMin menoleh kearah mulut
terowongan tempat ia bertemu dengan pria itu dan pria itu telah menghilang.
######
Berchtesgaden,
18 tahun yang lalu.
Saat
itu sudah lewat tengah malam ketika Mo kecil keluar dari kamarnya sambil
mengendap-endap. Mo mendengar sesuatu dihutan, meski masih berusia 10 tahun, Mo
cukup punya keberanian berjalan kehutan disekitar rumahnya sendirian pada malam
hari. Orangtuanya selalu mengajak berjalan-jalan dihutan sejak kecil. Bagi
keluarga Jung, hutan adalah rumah kedua mereka. Semua generasi Jung sangat
mengenal hutan-hutan di Berchtesgadener Land.
Dengan masih mengenakan piyama, Mo
mengendap-endap keluar rumahnya melalui pintu belakang yang kuncinya sudah
terlebih dulu dia ambil diam-diam dari Ebert-kepala pelayan dirumah mereka.
“Raaaawrrrr!” Mo mendengar suara itu. Suara erangan seekor mahluk. Seperti
suara serigala tapi suaranya terdengar kesakitan. Mo mempercepat langkahnya.
Ditempat lain, Elena Jung juga
terbangun saat mendengar suara itu. Dia bangkit kearah jendela dan melihat
putranya sedang berlari ke arah hutan.
“ Mortimer!!!” panggilnya. Tapi Mo
tentu saja tidak mendengarnya. Elena langsung keluar kamar dengan panik dan
mengejar putranya. Ibu dan anak itu masuk ke kegelapan hutan Berchtesgaden
tanpa seorang pun yang tahu.
“ Mortimer!!!” panggil Elena lagi saat
ia sudah berada dihutan. Keadaan hutan tidak begitu gelap karena sayup-sayup
sinar bulan purnama menerangi hutan. Berbagai suara binatang malam serta
desiran angin yang bergesekkan dengan ranting pohon membuat suana hutan terasa
menegangkan. Tapi Elena tidak peduli hal itu. Dia lebih mengkhawatirkan putra
kecilnya yang entah ada di bagian mana hutan itu.
“ Mortimer!!!” Elena kembali
memanggil putranya. Namun hanya suara angin yang terdengar. Elena mendengar
sesuatu bergerak kearahnya dari belakang. Dia berbalik,tapi kemudian..
“Raaawwwr!!” Seekor mahluk sebesar dirinya menyerangnya.
“Aaaa!!” Elena pun jatuh tersungkur.
Mahluk itu berusaha menggigitnya dengan taring yang seperti serigala. Kuku-kuku
mahluk itu telah berhasil mengoyak jubah tidur Elena dan melukai bahu wanita
itu. Elena berusaha melawan dengan memegang moncong mahluk itu agar dia tidak
digigit. Namun mahluk itu jauh lebih kuat dari Elena.
“ Mom!!!!!” Mo datang dari arah
kanan. Dia tidak percaya apa yang sedang dilihatnya sekarang. Seekor mahluk
yang menyerupai manusia tapi memiliki moncong,taring dan kuku-kuku seperti
serigala tengah menyerang ibunya.
“ Lari Mo!!!!” perintah ibunya.
Mahluk itu berpaling menatap Mo. Dia menatap Mo dengan mata hijau lapar. Mo
merasa detik itu juga mahluk itu akan menyerangnya. Tapi Mo sama sekali tidak
punya kekuatan untuk lari. Dia tidak ingin lari dan meninggalkan ibunya.
“ Lari Mo!!!” seru ibunya lagi.
Namun naas, mahluk itu mencabik dada ibunya kemudian menggigit leher ibunya.
“Mom!!!” seru Mo. Dia jatuh terkulai
lemas menyaksikan ibunya dibunuh dengan tragis didepan matanya. Air matanya
mulai jatuh. Dia benar-benar katakutan sekarang. Mahluk itu masih mengoyak2
tubuh ibunya. Dia ingin melawannya, tapi ketakutan mengalahkannya. Dia bahkan
tidak bisa berteriak. Setelah selesai, mahluk itu kembali berpaling kearahnya.
Mo mundur perlahan, mengikuti gerakan mahluk itu yang semakin mendekat
kearahnya. Mo berhenti saat tubuhnya terdesak kesebuah batang pohon oak besar.
Kini dia terjebak. Tidak bisa kemana2 lagi. Mahluk itu masih menatapnya dengan
tatapan lapar. Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Mo
memejamkan matanya. Jantungnya berdebar sangat kencang. Air matanya mengalir
lebih deras. Dia sangat ketakutan. Dia berpikir dia akan mati tak lama lagi.
“ Jauhi dia!” seru seseorang sambil
memegang bahu mahluk itu dan melempar kebelakang. Mo membuka mata. Seorang pria
yang memakai jubah hitam tengah berdiri
didepannya. Menyelamatkan dia dari mahluk itu. Mahluk itu bangkit dan menyerang
laki-laki itu. Tapi secepat kilat, pria itu menghindar. Keduanya pun terlibat
perkelahian yang cukup sengit.
“ Kau baik-baik saja? “ kemudian
seorang pria lain berjubah putih muncul
dari belakang. Mo hanya mengangguk. Pria itu tersenyum menunjukkan giginya. Mo
tersentak. Ada dua gigi taring disela-sela giginya. “Siapa orang ini?” pikir Mo
“ Hei! Bantu aku! “ pria berjubah
hitam tadi berseru meminta tolong. Pria berjubah putih itu pun bergegas
menolong temannya. Mo memperhatikan pertarungan mereka. Jelas sekali kedua pria
itu cukup kewalahan menghadapi mahluk
serigala itu. Meski mempunyai kecepatan yang sama, tapi kekuatan mahluk itu
cukup merepotkan mereka. Beberapa kali keduanya jatuh tersungkur.
“ Battss!!” sebuah belati perak
melayang kearah mahluk itu dari belakang. “Aaarrrggh!!” mahluk itu meringis
kesakitan dan berbalik untuk melihat penyerangnya. Seorang pria lain yang memakai jubah biru tua berdiri tak jauh dari
tempat mahluk itu.
“ Sekarang!” seru pria
berjubah biru. Kedua pria yang
tadi berduel sengit dengan mahluk serigala itu bangkit dan menjatuhkan mahluk
itu. Pria berjubah hitam mengoyak dada
mahluk itu dengan cakarnya yang tajam kemudian mengambil jantung mahluk itu
hanya dengan tangan kanannya. Darah segar mengucur deras. Seketika itu pula mahluk
itu jatuh tersungkur didepan Mo dan tewas. Sesuatu yang aneh terjadi. Mahluk
itu mulai berubah. Taringnya mulai hilang diikuti kuku-kuku tajamnya,bulu-bulu
lebat yang menutupi seluruh tubuhnya, dan yang terakhir moncongnya.
“D-dd-daad!” seru Mo tak percaya.
Ternyata mahluk yang membunuh ibunya dan hampir menyerangnya itu adalah ayahnya
sendiri.
“ Dad!!!” serunya lagi kemudian
menangis. Ketiga pria itu memandang
kasihan kearah Mo.
“ Apa kita harus membunuhnya juga?”
pria berjubah putih berkata enteng seakan nyawa Mo tidak ada harganya. “Dia
akan menjadi seperti ayahnya kan?!’ lanjut pria itu
“ Tapi dia masih kecil “ sergah pria
berjubah hitam. Mo kini terdiam memandang kearah ketiga pria yang tadi baru
saja menyelamatkannya tapi kini malah berdebat untuk memutuskan akan
membunuhnya atau tidak.
“ Dia tidak akan dibunuh “ Pria
berjubah biru tua melerai. Dia kemudian membungkuk dan menatap Mo. Wajah mereka
berdekatan tapi Mo sama sekali tidak mendengar hembusan napasnya. Wajah pria
itu pun sangat pucat dengan bola mata berwarna ungu terang. Mo mengalihkan
pandangannya kearah dua pria lain. Wajah mereka pun sangat pucat kontras dengan
warna bola mata mereka yang berwarna ungu terang.
“ Apa kau ingin menjadi seperti
ayahmu?” tanya pria berjubah biru. Mo memandangnya sejenak kemudian menggeleng.
“Tapi kau akan tetap menjadi seperti
ayahmu” kata pria itu lagi.
“ Kenapa? Kenapa ayah bisa seperti
itu?”
“ Kau tidak ingin menjadi seperti
dia kan?!” pria berjubah biru bertanya lagi.
“Tentu saja tidak!” kali ini Mo
menjawab lantang. Sejak kecil ayahnya selalu mengajarkannya untuk menolong
orang lain. Mo sangat kecewa sebenarnya ketika mendapati ayahnya malah membunuh
ibunya dan hendak membunuhnya.
“Bagus!” pria itu tersenyum.
Kemudian dia merogoh saku dalam jubahnya dan mengeluarkan sebuah botol beling
kecil yang mirip dengan botol yang biasa digunakan Mo saat kelas kimia di lab.
Botol itu berisi cairan berwarna merah pekat seperti darah. Pria itu kemudian
menyerahkannya pada Mo.
“ Apa ini?” Mo mengambilnya agak
ragu.
“ Sesuatu yang bisa menahanmu agar
tidak berubah seperti ayahmu” jawab pria berjubah itu dengan mantap.
“ Es lo que realmente quieres darle
a el?” tanya pria berjubah hitam dengan agak terkejut.
“ Si.” Jawab pria berjubah biru
“Yeah! Ich mochte das ergebnis zu
sehen!” sahut pria berjubah putih dengan
girang.
Tanpa
pikir panjang Mo membuka penutup botol itu dan menengguknya hingga habis.
“ Huuk! Rasanya seperti darah “ ujar
Mo. Kental dan baunya menyerupai darah.
“ Memang darah”
“Haaa??!!” Mo terkejut. Jadi tadi yang barusan dia minum
memang benar-benar darah. Mo berusaha
memuntahkannya tapi terlambat. Darah itu sudah sampai ke tenggorokan Mo
dan kini bergerak keparu2nya. Seketika itu pula panas menjalar menyerang
tubuhnya. Seakan darahnya mendidih dan bergejolak hebat berduel dengan darah
yang baru ia minum. Seperti air dan minyak. Darah Mo dan darah itu tidak mau
bersatu. Mo pun ambruk. Tubuhnya menggeliat-liat.”Aaarggh!!!” dia meringis
kesakitan. Jantungnya berdetak kencang. Rasanya seperti jantungnya mau lepas
dari tubuhnya. Tubuhnya menggeliat karena panas yang menjalar ditubuhnya.
“Arrghh!” Mo berteriak lagi tapi
ketiga pria itu malah membiarkannya kesakitan.
“ Apa dia akan baik2 saja?” kata
pria berjubah hitam
“ Kita lihat saja nanti. Kalau dia
tidak kuat, dia akan mati”
“Aaaaarrrggghhh!” sekali lagi Mo
berteriak. Sebuah teriakan panjang lalu ia pun tak sadarkan diri. Jantungnya
berhenti berdetak.
“Eh? Dia mati?” ujar pria berjubah putih lalu beranjak mendekati
Mo diikuti pria berjubah hitam.
“ Tidak. Jantungnya masih berdetak
meski lemah” kata pria berjubah biru. “Ayo kita pergi. Sebentar lagi akan ada
orang yang menemukannya” pria berjubah biru melanjutkan. Ketiganya pun pergi
meninggalkan Mo yang pingsan.
#####
Berchtesgaden,
saat ini. Keesokan paginya
Mo terbangun dari tidurnya dengan
napas terengah-engah. Dia mimpi buruk.
Lagi. Mimpi tentang peristiwa 18 tahun lalu. Tentang kematian orangtuanya yang
mengenaskan. Peristiwa yang ingin ia lupakan karena terlalu menyakitkan. Mo
mengurut-ngurut keningnya. Sudah dua hari terakhir ini dia menderita migrain
parah. Entah karena stress atau kurang tidur.
Mo bangkit dari tempat tidur, meraih
jas piyamanya yang tergeletak disofa tak jauh dari tempat tidurnya lantas
mengenakannya. Mo melirik ke arah jam besar dikoridor menuju tangga saat ia
melewatinya. Pukul 5 pagi. Masih sangat pagi dan tak biasanya Mo bangun sepagi ini.
Kediaman keluarga Jung hampir menyerupai kastil kuno Jerman tapi lebih kecil
yang dikelilingi banyak pohon pinus yang rindang.
Lokasinya agak jauh dari pusat kota
dan lebih dekat kearah hutan dan perbatasan Salszburg. Jalanan menuju rumah
dikelilingi oleh pohon-pohon pinus yang rindang sehingga terlihat teduh dan
agak gelap meski disiang hari. Rumah bercat putih itu cukup besar dengan
halaman yang sangat luas. Ada sebuah air mancur yang berukuran besar dihalaman
depan rumah.
Dibelakang rumah terdapat sebuah
peternakan kecil serta kebun sayuran yang luas. Keluarga Jung sudah cukup lama
tinggal di Berchtesgaden dan cukup dihormati serta berpengaruh. Kakek Mo
dulunya adalah salah satu anggota dewan kota yang cukup disegani. Sejak
kematian orangtuanya, Mo menjadi satu-satunya anggota keluarga Jung yang masih
hidup.
“ Guten morgen. Anda bangun pagi
sekali,Tuan” sapa Ebert saat Mo masuk kedapur. Pagi itu, Ebert sudah bersiap
mengatur semua kegiatan dirumah selama seharian penuh. Ebert adalah kepala
pelayan keluarga Jung sejak kakeknya masih muda. Pria berusia sekitar 50
tahunan, sudah dianggap keluarga oleh kakeknya Mo.
“ Guten morgen, Ebert. Yah~
begitulah” sahut Mo sambil tersenyum lantas mengambil segelas susu segar yang
baru dituang Ebert untuknya.
“ Mimpi buruk lagi? “ tanya Ebert
agak cemas.
“ No. Don’t worry. Nevermind ” jawab
Mo berbohong. Mo tidak ingin membuat Ebert cemas. Dia sudah menganggap Ebert
sebagai ayah kandungnya sendiri. Setelah orangtuanya meninggal,hanya Ebert yang
selalu berada disampingnya dan merawatnya. Bahkan Ebert pun tahu tentang
rahasianya.
“ Mungkin Anda harus pergi ke
dokter. Wajah Anda terlihat pucat “ kata Ebert cemas. Ebert sangat tahu apa
yang dialami Mo. Hal itu cukup berat apalagi Mo harus mengalaminya saat masih
kecil. Sejak peristiwa itu Ebert berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu
menjaga dan merawat tuan mudanya itu hingga akhir hayatnya.
#####
Edinburgh,
keesokan paginya.
JMin tiba lebih awal dikantornya.
Pukul 7:30 dia sudah berada dikantornya. Sebenarnya dia bangun lebih awal
karena semalam tidurnya tidak nyenyak. Setelah tadi malam dia merasa ada yang mengikutinya. Saat tiba diapartemennya
pun, dia merasa ada yang mengamatinya. Dia benar-benar merasa gelisah.
Pikiran JMin kembali tertuju pada
pria asing yang semalam menyapanya. “Sepertinya aku pernah bertemu dengannya.
Tapi kapan dan dimana yaa?!” JMin bertanya-tanya dalam hati. Meski tampak cuek,
tapi JMin cukup baik dalam memperhatikan hal-hal kecil disekitarnya. Dia pasti
ingat dimana ia bertemu dengan pria itu. Namun nyatanya JMin sama sekali tak
ingat. “ Mungkin hanya perasaanku saja” batinnya lagi
“Kau
baik-baik saja?” suara Vincent mengejutkan JMin. Dia tidak sadar kalau sedari
tadi ia melamun memikirkan pria itu
“
Eh- ya. Aku baik-baik saja” jawab JMin kikuk sambil tersenyum. Vincent pun ikut tersenyum. Dia lantas mengambil
kursi kosong,meletakkannya didekat kursi JMin kemudian duduk disana.
“
Kau yakin? Wajahmu terlihat pucat” kata Vincent. Wajah pria itu terlihat cemas.
Perhatiannya yang seperti seorang kekasih membuat JMin agak risih didekatnya.
“
Benarkah?!” seru JMin sambil memegang
pipinya dengan kedua tangannya. “Oh. Mungkin karena aku kurang tidur
semalam. Aku pulang larut sekali tadi malam” lanjut JMin lagi berusaha bersikap
normal. Vincent tersenyum. Sebenarnya Vincent adalah pria yang baik dan sopan.
Dia cukup menarik dengan rambut hitam kelam serta wajahnya yang cute. JMin juga
senang mengobrol dengannya. Mereka pernah makan malam beberapa kali. Tapi tak
pernah benar-benar berkencan.
“
Kudengar kau akan pergi ke Jerman. Benarkah?” tanya Vincent.
“
Ya. Mungkin besok lusa aku akan berangkat.” ekspresi Vincent berubah sedih saat
JMin mengatakan itu. JMin jadi sedikit merasa bersalah
JMin
adalah seorang fotografer sekaligus editor
disebuah majalah wanita di Edinburgh. Tapi menurutnya, atasannya lebih
sering memaksanya menjadi editor daripada fotografer. Padahal bakat dan
kesukaan JMin adalah dibidang fotografi bukan tulis menulis dan kemarin,
atasannya menyuruhnya untuk pergi ke Jerman untuk melakukan tiga job di tiga
kota berbeda di Jerman.
Alasan
Mrs.Reagan-atasannya- cukup sederhana, dikarenakan diantara semua pegawainya
hanya JMin yang fasih berbahasa Jerman, maka tugas itu diberikan kepadanya.
Tapi bagi JMin itu sama juga penghematan tenaga kerja. Alhasil, kemarin dia pun
sekalian meminta cuti untuk berlibur di Jerman. Dan Mrs.Reagan menyetujuinya.
“
Enjoy your trip” ujar Vincent riang sambil mengedipkan sebelah matanya. Ada
segurat kesedihan saat Vincent mengatakan itu. “Benarkah ia masih suka padaku?”
kata JMin dalam hati. Vincent pernah bilang bahwa ia menyukai JMin tapi saat
itu JMin hanya ingin fokus pada pekerjaannya. Begitu pula saat ini. Sejak
pindah ke Edinburgh, JMin tidak pernah benar-benar memiliki hubungan spesial
dengan pria. Padahal JMin tidak memiliki kriteria khusus soal pria idamannya.
Vincent
pun pamit. Dia mengembalikan kursi yang tadi ia pinjam ketempatnya. Pandangan
JMin mengekor Vincent hingga pria itu memasuki ruangannya. JMin menghela napas.
Jessica pernah bilang kalau Vincent menyukai JMin sejak dulu. Beberapa kali
sahabatnya itu menjodoh-jodohkannya dengan Vincent. Namun JMin sama sekali
tidak memiliki perasaan apa-apa pada Vincent. Padahal dia tidak sedang dekat
dengan siapa pun. Dan JMin sangat senang Vincent begitu memperhatikannya
“
Kau terlalu banyak berpikir. Jalani saja dulu. Cinta itu datang karena
terbiasa.” JMin teringat kata-kata Jessica saat menyuruhnya untuk berkencan
dengan Vincent. Tapi JMin bukan orang seperti itu. Dia tidak ingin menyakiti
Vincent kalau akhirnya dia malah tidak bisa mencintai Vincent.
“ Wah~ tadi Vincent bilang apa?”
tanya Jessica saat ia menghampiri JMin
dimejanya. Jessica baru saja datang saat Vincent sudah pergi dari tempat JMin.
Gadis itu tampak kesulitan saat memeluk
map tebal didadanya,mengapit jurnal di lengan kanannya sementara tangannya
memegang sekantung croissant.
“Ada deh!” seru JMin yang malah merebut
kantung kertas yang berisi setengah lusin croissant dari tangan Jessica lalu
pergi darisitu.
“Heii! Sarapanku!!” seru Jessica
kesal saat JMin merebut kantung sarapannya.
“by the way, terimakasih untuk
kiriman sarapannya” seru JMin agak kencang saat ia sudah berada agak jauh dari
Jessica sambil mengacungkan kantung croissant itu. Jessica hanya merengut melihat
tingkah sahabatnya.
#####
Tanpa
sepengetahuan JMin sepasang mata tengah mengamatinya dari seberang gedung
kantornya. Seorang pria berusia sekitar 30an mengamati JMin dari sebuah kamar
diseberang gedung kantor JMin. Pria itu tersenyum saat ia melihat JMin sedang
tertawa bersama teman-temannya.
“Sepertinya
ia baik-baik saja” kata teman pria itu yang kemudian ikut mengamati JMin.
“
Kupikir, kau harus menjauh darinya. Mungkin itu lebih baik” kata teman pria itu
lagi.
“Apa
maksudmu, Reus?” tanya pria itu pada temannya sambil memandang temannya penuh
selidik. Dia tidak percaya Reus menyuruhnya untuk menjauh dari JMin. Padahal
Reus tahu betapa pentingnya JMin bagi
dirinya.
“
Jay, gadis itu akan lebih aman bila kau tidak berada disekitarnya” kata Reus.
Jay mendelik kearah Reus, tapi Reus tampak cuek. Dia malah berjalan kearah
sofa. Gerakannya sangat halus dan cepat seakan dirinya seringan kapas. Dia
menjatuhkan dirinya disofa. Memandang keluar jendela yang berada disisi lain
kamar itu.
“
Coba kau pikir, sejak kedatanganmu kesini, mereka jadi lebih sering bermunculan
disekitarnya kan?! Itu artinya mereka sudah curiga” Reus melanjutkan
penuturannya. Akhir-akhir ini Jay jadi 10 kali lebih protektif pada JMin. Dia
rela bolak balik dari Helsinki ke Edinburgh hanya untuk mengawasi JMin dan
memastikan ia aman. Jay berpikir, dengan kehadirannya disekitar JMin,dia bisa
melindungi gadis itu. Tapi Reus berpikir lain. Menurutnya aura Jay yang kuat
lah yang mengundang mereka kepada JMin. Mereka pasti curiga seorang Strigoi
seperti Jay berada didekat seorang manusia khususnya wanita.
“Semalam
salah satu dari mereka mengikutinya saat ia pulang kerja. Aku yakin dia akan
menyerangnya” Jay tetap bersikukuh.
“Jujur
saja, aura JMin tidak begitu ketara karena dia berada ditengah tengah ribuan
manusia. Tapi auramu jauh lebih kuat. Kau tahu, aku saja bisa mengetahui
keberadaanmu dari London.” balas Reus.
“
Itu kan kau. Mereka tidak sepertimu” Jay merengut lalu menjatuhkan dirinya
disebelah Reus.
“Ah~
terserahlah” gerutu Reus. Percuma saja berdebat dengan Jay bila dia sudah
mempunyai keinginan yang kuat. Meski sebenarnya Jay adalah orang yang easy
going, tapi bila ia punya keinginan maka tak seorang pun yang mampu
menghalanginya. Dan sekarang, Jay bersikeras untuk berada disekitar JMin.
Melindungi gadis itu dari mereka.
“Lalu
untuk apa kau kesini?” tanya Jay. Dia agak heran sebenarnya melihat Reus berada
dikeramaian kota dipagi hari yang cerah. Meskipun mereka tidak punya masalah
yang cukup berarti dengan sinar matahari,tapi sejak dulu Reus terkenal sangat
merawat kulitnya. Makanya Reus biasanya selalu bersembunyi ditempat yang
tersembunyi dari sinar matahari saat siang hari.
“Lalu
aku harus dimana lagi?!” sahut Reus sebal. Sahabatnya itu tetap tidak berubah
sejak setengah abad lalu. Masih dingin dan tidak peka. Reus tak mengerti kenapa
ia masih saja merasa khawatir dengan Jay meski tahu sifat asli Jay.
“Jadi,
kau akan tetap disini menemaniku?” tanya Jay sambil menyeringai nakal. Jay tahu
itu akan makin membuat Reus kesal. Sejujurnya Jay merasa tenang dengan
kehadiran Reus karena Reus akan selalu berhasil mencegahnya agar tidak lepas
kendali yang mungkin membuatnya menyakiti JMin.
[
to be continued ]
by @hiki0717
by @hiki0717
Glosarium
1.
Edinburgh Vaults : terowongan yang dibangun
dibawah salah satu lengkungan South Bridge sejak abad 18.
2.
Cowgate : salah satu jalan di dekat
Edinburgh Castle dan South Bridge
3.
Burke and Hare adalah cerita horor tentang
kanibalisme yang terkenal di Edinburgh. Karena cerita inilah makanya ada trip
wisata hantu di Edinburgh dimulai dari Edinburgh Vaults hingga Greyfriar’s Cemetery.
4.
Derbyshire adalah kota kecil di Inggris.
Salah satu desanya,yaitu Edensor dijadiin
setting disalah satu tetralogi Laskar
Pelangi ;)
5.
Berchtesgaden adalah kampung halaman saya XD
*abaikan* merupakan kota kecil di wilayah Bavaria
State, Jerman. Jaraknya 180km dari Munich
;) Disebut sebagai Romantic Corner of
German karena berada diujung perbatasan antara Jerman dan Austria tapi
penduduknya sangat loyal sama Jerman *salute*
6.
Berchtesgadener Land : sebutan untuk daerah di
Bavaria State yang meliputi kota2 disekitar Berchtesgaden, danau Konigssee dan gunung Watzmann ;)
7.
Es
lo que realmente quieres darle a el? : Do you really want to give it to him?
(Spain)
8.
Si
: Yes (Spain) Guten Morgen : good morning (German)
9.
Ich
mochte das ergebnis zu sehen : I want to see the result (German)
No comments:
Post a Comment