Friday, 1 March 2013

The Mist of Romantic Corner [ Part 2 ]


The Mist of Romantic Corner [ Part 2 ]

Hello, this is my 1st FF yang bersetting di Eropa tapi tetap berasa Korea XD So, ada sedikit penyesuaian tentang nama tokoh2nya ya ;) untuk di part ini, inilah penyesuaiannya :
1.      Jessamine Shaw aka JMin : Oh Jimin
2.      Mortimer Jung                   : Jung Mo Kim ( TRAX )
3.      Jay                                     : Jay Kim ( TRAX )
4.      Reus (dibaca: Ros)            : Rose ( No Min Woo )
P.S : Gak hanya di Korea, surname Jung juga cukup banyak dipake orang Jerman XD #fakta. Okay, just enjoy reading and please comment ;) Thanks anyway ;)
 
Black Forest, Jerman lewat tengah malam


            Dia berlari hampir secepat angin. Mo mengejarnya dengan kecepatan yang hampir sama. Suasana hutan malam itu cukup terang karena sinar bulan purnama. Namun keadaan hutan cukup sunyi seakan hewan2 dihutan bersembunyi disarang mereka masing2 menghindari aksi kejar-kejaran antara Mo dengan seorang Moroi yang tampak tak jauh lebih tua darinya. Mo menyiapkan kapaknya sambil berlari lantas mengarahkannya tepat kepunggung Moroi itu.
“Baaaatttsss!!” kapak itu tepat mengenai sasaran. Moroi itu pun langsung jatuh tersungkur. Mo menghampiri Moroi yang sedang kesakitan itu kemudian mencabut kapaknya. Moroi itu berusaha bangkit dan menyerang Mo dengan kuku-kukunya yang tajam. Tapi Mo dengan gesit menghindar
            “ Siapa kau?” tanya Moroi yang masih berusaha berdiri tegak dan mengumpulkan tenaga untuk menyerang Mo. Moroi itu cukup terkejut dengan kecepatan dan kegesitan Mo yang hampir menyamainya. Selama ini tak ada satu manusia pun yang pernah atau bahkan berani melawannya seperti yang telah dilakukan pria aneh yang sedang berdiri didepannya
            “ Aku adalah kematianmu” sahut Mo lantang seraya mengayunkan kapaknya dengan cepat. Kepala Moroi itu hampir tertebas jika saja tidak menghindar tepat waktu. Terjadi pertarungan yang cukup sengit antara Mo dengan si Moroi. Tak lama kemudian, si Moroi terlihat kehabisan tenaga karena luka yang dideritanya. Mo pun langsung memanfaatkan hal itu. Secepat kilat dia melompat kebelakang Moroi itu kemudian menebas lehernya dari belakang hingga kepalanya terpental beberapa meter dari tubuhnya.
            Seketika itu pula tubuh si Moroi terbakar hebat. Mo mengambil kepala si Moroi kemudian melemparkannya kedalam kobaran api. Mo menatap kobaran api itu tanpa ekspresi. Cahaya api merah berkilat-kilat dimatanya. Ini adalah Moroi kelima yang ia temui selama sebulan terakhir. Itu mengindikasikan bahwa jumlah Moroi meningkat di Jerman. Dan itu bisa menjadi sangat buruk sekali bagi manusia.

#####

Berchtesgaden, keesokan paginya.

Mo bangun dengan serangan migrain yang cukup merepotkan meski ia tidak bermimpi buruk semalam. Dengan agak tertatih ia berusaha bangkit dan menuju kamar mandi. Dia mencuci mukanya diwastafel untuk menyegarkan diri. Dia melihat kearah cermin. Memandang dirinya yang ‘aneh’. Dia sedang tidak sakit atau semacamnya,tapi kulitnya setingkat lebih pucat dari rata-rata kulit orang Eropa. Dan perpaduan rambut silver dengan mata hitam, bukan penampilan kebanyakan orang Eropa yang cenderung bermata hijau atau biru.
            Saat kecil,Mo mewarisi rambut coklat ayahnya dan mata hijau ibunya. Tapi suatu hari dia menderita penyakit yang aneh, yang membuatnya hampir mati. Beruntung ia masih bisa hidup meski konsekuensinya warna rambut dan matanya berubah drastis.
            Mo membuka kotak obat yang berada dibalik cerminnya kemudian mengambil beberapa tablet aspirin. Akhir-akhir ini dia menjadi lebih addicted pada aspirin karena migrainnya. Ebert telah menyuruhnya ke dokter, tapi Mo tidak mengindahkannya. “Mungkin aku benar-benar harus ke dokter” gumamnya.
            Perburuan semalam lumayan menguras tenaganya karena Moroi itu berusaha melarikan diri. Sebenarnya mudah saja membunuh Moroi bila ia sedang tidak bersama kawanannya. Mo harus mempersiapkan tenaga ekstra bila harus melawan 2-3 Moroi sekaligus tapi dia bersyukur dia masih tetap hidup.
            “ Guten morgen. Saya baru saja akan membangunkan Anda” sapa Ebert saat dia berpapasan dengan Mo dikoridor yang menuju kamar Mo.
            “ Morgen~ I see. Why?” balas Mo ramah, pandangan Mo tertuju pada sebuah koran yang dibawa Ebert.
            “ Anda baik-baik saja? Anda tampak kurang sehat” tanya Ebert khawatir ketika menyadari muka Mo berubah pucat.
            “ I’m fine. Hanya sedang migrain sedikit”
            “ Really? Oh~ Saya ingin menunjukkan ini kepada Anda” Ebert pun menunjukkan koran yang ia bawa pada Mo. Sebuah koran lokal edisi pagi ini. Mo sangat terkejut ketika membaca headline news dihalaman depan koran itu.
            “ Seorang pria yang belum diketahui identitasnya ditemukan tewas mengenaskan dengan penuh luka disekujur tubuhnya dihutan tak jauh dari Bad Reichenhall. Polisi menduga binatang buas telah menyerang pria ini tadi malam. Hingga saat ini polisi masih menyelidikinya. Warga diminta waspada”
            “Bagaimana menurut Anda?” tanya Ebert. Pria itu memandang Mo penasaran. Mo menatapnya bingung. Sebenarnya dia bingung bagaimana harus menjelaskannya pada Ebert meski secara garis besar Ebert tahu apa yang terjadi.
            “ Itu bukan serangan binatang buas” akhirnya Mo hanya menjawab seperti itu dan berharap Ebert paham.
            “Aku tidak menyangka akhirnya mereka sampai disini” Mo melanjutkan. Nada suaranya terdengar getir. Seakan dia baru saja menerima kabar bahwa kiamat akan terjadi besok.
            “ Kenapa aku tidak menyadarinya? Shit!” Mo mengumpat pada dirinya sendiri yang terlambat menyadari kehadiran mereka di Berchtesgadener Land. Selama ini ia memburu mereka hampir diseantero Jerman dan Austria tapi Berchtesgadener Land selalu aman dan tidak terjamah oleh mereka. Tapi berita pagi ini cukup menjadi tamparan bagi Mo.
            “ Ini bukan kesalahan Anda. Anda sudah melakukan yang terbaik” Ebert berusaha menenangkan Mo layaknya seorang ayah. Dukungan dari sebuah keluarga menjadi hal yang sangat dirindukan Mo. Dan Mo bersyukur dia masih bisa mendapatkannya dari Ebert.Namun, gurat penyesalan masih terlihat diwajah Mo. Selama ini dia berusaha untuk membasmi mereka dari tanah Jerman setidaknya. Tidak ada yang tahu perjuangannya kecuali Ebert. Mo memang tidak ingin tindakannya itu diketahui orang lain dan menimbulkan kehebohan yang mungkin akan berujung menjadi kepanikan massa.
            “ Aku harus ke dokter sepertinya. Migrainku ini membuatku kurang fokus maka hal ini pun terjadi. Sangat merepotkan” keluh Mo. Seharusnya ia mendengarkan saran Ebert untuk segera kedokter. Mungkin hal ini dapat dicegah bila ia tidak tersiksa dengan migrainnya.

#####

Jauh di kedalaman Black Forest yang hampir tidak tersentuh matahari
            Pohon-pohon cemara dan pinus menjulang tinggi diseantero Black Forest. Tumbuh berdekatan dan hampir rapat satu sama lain, hingga sinar matahari hampir tidak bisa menembusnya. Di Black Forest, Max bisa berjalan dengan mudah saat siang hari meski sebenarnya sinar matahari tidak terlalu merepotkan bagi seorang Strigoi sepertinya.
            Dia tiba diatas sebuah jurang batu yang cukup terjal tapi tidak terlalu tinggi. Didasar jurang ada sebuah lubang yang cukup besar yang bisa dilewati orang dewasa. Max melihat kebawah kemudian memanggil seseorang,
            “Hei! Keluarlah! Aku tidak mau masuk ke lubang tikus itu!”
Tak berapa lama kemudian seseorang muncul diikuti dua orang lainnya dari dalam lubang. Tiga orang pria dengan usia yang hampir sebaya dengan Max. Gerak gerik mereka terlihat kaku dan ragu. Beberapa kali mereka memandang sekeliling, untuk menghindari pancaran sinar matahari walaupun hanya sedikit. Mereka adalah Moroi. Tingkat kesensitifan mereka terhadap sinar matahari jauh lebih serius daripada Strigoi.
            “Sergei telah tewas!” seru Moroi yang pertama kali keluar kepada Max. Mukanya terlihat sangat marah. Tapi Max tampak tenang. Dua orang Moroi yang lainnya berjalan memutari Max, hingga mereka bertiga dalam posisi mengepung Max.
“Itu karena dia bodoh. Kalian juga akan sepertinya bila tidak memakai otak kalian untuk melawannya. Lagipula ia tidak sepenuhnya Lycan, mestinya kalian bisa membunuhnya dengan mudah.” ujar Max enteng. Ketiga Moroi itu menyeringai, seolah tak terima dengan kata2 Max.
“Aku telah mengirimkan mayat seseorang ke Berchtesgadener Land, di dekat tempat tinggal Lycan itu, pasti sebentar lagi ia akan panik. Kalian harus bisa mengambil kesempatan saat itu terjadi.” lanjut Max. Ketiga Moroi itu menyeringai marah namun tetap tak berbuat apa-apa.
“ dan ada indikasi Dhampir di Oslo. Olic, aku ingin kau mencari tahu tentangnya kemudian menghabisinya. Jangan gegabah dan membuat kekacauan dikota. Itu malah akan menyusahkan kita. Mengerti?” kata Max pada Moroi yang ada didepannya. Moroi itu diam saja dan masih tetap memandang sinis kearah Max dengan mata hitam pekatnya. Dia menyeringai hingga taringnya terlihat berusaha menakuti Max,meski ia tahu itu percuma.
            Kedua temannya memandang ke arah Olic. Mereka saling berpandangan kemudian mengangguk. Olic pun menjawab,
            “ Baiklah “
            “ Dan kalian berdua, tetap disini dan awasi Lycan itu. Jangan bunuh dia. Dia milkku sekarang.” kata Max pada dua Moroi dibelakangnya
Max menyeringai puas. Dia senang misinya akan berjalan mulus. Dia telah mengirimkan beberapa kawanan Moroi hampir keseluruh dunia untuk memburu para Dhampir-anak dari Moroi dan manusia-yang menurut dia dan kelompoknya merupakan “anak haram” yang seharusnya tidak boleh lahir.
Max cukup terkejut ada Dhampir yang memiliki darah Lycan seperti pria berambut silver yang telah membunuh Sergei semalam. Namun Max tidak tahu bagaimana kisahnya hingga pria itu memiliki darah Moroi dan Lycan ditubuhnya.
“Anehnya aku hampir tidak bisa mengenali baunya sebagai Dhampir kecuali aku sudah berada sangat dekat dengannya. Darah Lycan-nya terlalu mendominasi. Siapa dia sebenarnya?” batin Max penasaran.

#####

Munich

Mo tiba di kantornya-sebuah perusahaan real estate yang cukup ternama di Munich- tepat pukul 9: 45 pagi. Hari itu dia akan menghadiri rapat pemegang saham yang akan diadakan pada pukul 10 pagi. Keluarga Jung memiliki hampir setengah saham disitu,tapi kehidupan sebagai eksekutif bukan merupakan favorit Mo. Makanya dia hanya ke kantor saat diundang rapat oleh dewan direksi atau bila ada urusan mendadak. Dia lebih suka mengurusi hotel2nya di Berchtesgadener Land, sementara seluruh kegiatan dan perkembangan perusahaannya di Munich, ia percayakan pada Phillip-sahabatnya yang juga salah satu direktur disitu.
            “ Tumben kau tidak telat” sapa Phillip saat pria itu menyambut Mo yang baru saja turun dari mobilnya.
            “ So~ aku dapat traktiran makan siang kalau begitu” Mo menyeringai kearah Phillip. Keduanya tertawa kecil. Beberapa pasang mata mengikuti Mo dan Phillip saat mereka menuju ruang rapat. Mo mungkin bukan pria paling tampan di Jerman, tapi dengan tubuh yang tinggi dan tegap serta pakaian eksekutifnya yang cenderung santai,dia cukup menjadi pusat perhatian khususnya para pegawai wanita.
            “ Kenapa kau tidak mengurus sendiri urusan disini? Kau cukup punya banyak penggemar disini” kata Phillip sambil menyikut perut Mo pelan.
            “ Lalu membiarkanmu menjadi pengangguran? Oh. Kurasa itu ide bagus” Mo tertawa. Phillip merengut kemudian menyikut perut Mo lagi,kali ini agak keras. Mo terdengar mengaduh pelan.
            “ Pokoknya Natal tahun ini,kau harus mengenalkan pacarmu padaku” kata Phillip. Mo terlihat terkejut kemudian memandang sahabatnya itu.
            “ Heh! Kenapa aku harus mengenalkannya padamu?” protes Mo.
            “ Memang kau punya pacar?” Phillip meledek. Dia sudah bersahabat dengan Mo sejak SMP dan Mo selalu punya kisah cinta yang lebih mengenaskan daripada dirinya. Beruntung dia sudah menikah dengan gadis idamannya dan kini tengah menunggu kelahiran anak pertama mereka.
            “ Tidak sih. Tapi bila punya pun, aku tidak akan mengenalkannya padamu. Aku hanya akan mengenalkan calon istriku nanti. Jadi bersabarlah kawan” ujar Mo riang sambil menepuk bahu Phillip yang berpostur lebih pendek darinya.
            “ Eh?! Apa bedanya? Dasar bodoh!” balas Phillip seraya memukul pelan bagian belakang kepala Mo.
            “ Kalau pacar belum tentu ku nikahi, tapi kalau calon istri sudah pasti ku nikahi ” jawab Mo mantap. Phillip hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban sahabatnya itu tapi dia tahu Mo serius mengatakannya. Sepengetahuan Phillip, Mo jarang menjalin hubungan serius dengan wanita di Munich. Jangankan pacaran, saat berhadapan dengan seorang wanita pun sikap Mo sangat kaku. Phillip berani bertaruh kalau Mo belum pernah tidur dengan seorang wanita.
            “ Jangan-jangan kau gay!” Phillip berseru pelan
            “Jangan ngomong macam-macam!” Mo membekap mulut Phillip. Phillip melepaskan bekapan tangan Mo kemudian tertawa terbahak-bahak
            “Enak saja! Aku masih normal!” lanjut Mo lagi. Dia tidak percaya sahabatnya sendiri menganggap dia gay. Memang selama ini dia tidak pernah menjalin hubungan serius dengan wanita. Mungkin hanya sekedar makan malam, pergi ke bioskop dan semacamnya. Selama ini para wanita mendekatinya hanya karena kekayaannya. Sedangkan Mo butuh lebih dari itu. Dia butuh wanita yang bisa menerima kekurangannya dan juga kutukannya.

#####

            “Finally!!! Holidays!!!” seru JMin riang saat menyelesaikan tugasnya di Munich. Beberapa hari sebelumnya ia telah mengunjungi Hamburg untuk tugas reportasenya tentang butik-butik yang menjual barang-barang mewah dan perhiasan di kota pelabuhan paling terkenal di Jerman itu.
Dia juga sudah menyelesaikan artikelnya tentang museum coklat di Cologne. Tidak lupa ia memotret Hohenzollern Bridge yang terbentang diatas sungai Rhein, karena ada hamparan gembok disepanjang jembatan, mengingatkan ia akan tradisi gembok cinta yang pernah ia dengar saat mengunjungi Seoul bersama Jessica beberapa tahun lalu.



JMin sengaja tidak membongkar semua barang bawaannya karena ia akan pergi ke Berchtesgadener Land  begitu tugasnya di Munich selesai. JMin sudah pernah ke Jerman beberapa kali,tapi belum pernah mengunjungi daerah Berchtesgadener Land diselatan Jerman. Karena itu, liburan yang ia dapatkan kali ini, ia manfaatkan untuk menikmati keindahan alam pegunungan Bavarian Alps yang terbentang di Berchtesgadener Land.
Hari sudah menjelang sore,tapi JMin memilih untuk berjalan-jalan di Englischer Garten yang terletak dipusat kota. JMin selalu mengunjungi taman ini bila ia ke Munich. Salah satu taman favoritnya karena didekat taman itu ada Haus der Kunst (House of Art) sebuah museum seni yang terletak di Prinzregentenstrasse Avenue. Meski bukan seniman tapi JMin adalah penikmat seni. Dia bisa betah berlama-lama mengagumi lukisan-lukisan indah di Haus der Kunst.

Setelah selesai mengunjungi Haus der Kunst, JMin menuju Eisbach-sebuah sungai buatan kecil yang terletak tak jauh dari Englischer Garten. Udara cukup dingin, JMin memilih untuk duduk dipinggiran sungai, menikmati pemandangan sungai buatan yang indah itu sambil beberapa kali memotretnya.
Beberapa peselancar sungai tengah berkumpul ditempat yang tak begitu jauh dari tempatnya. Mereka bersiap untuk “berselancar” di Eisbach tapi berbeda dengan para peselancar di laut, para peselancar sungai Eisbach ini harus menggunakan pakaian lengkap karena udara yang cukup dingin tapi mereka cukup menikmatinya. Beberapa turis mengambil foto2 para peselancar itu. Arus sungai yang cukup deras membuat Eisbach merupakan sarana favorit bagi peselancar yang ingin menikmati pengalaman baru yaitu berselancar disungai.
Menjelang malam, JMin pun kembali ke hotel. Lobby hotel lumayan ramai saat JMin masuk. Jumlah turis meningkat cukup signifikan saat musim liburan tiba.
“ Miss Shaw “ seseorang memanggil JMin. JMin menoleh kearah suara panggilan itu. Seorang wanita berusia hampir 40an menghampiri JMin. Wanita itu memakai blazer dan rok hitam lengkap dengan badge nama hotel tempat JMin menginap yang melingkari lengan kirinya
“Ya?” jawab JMin singkat
“ Orangtua Anda menelpon dari Inggris. Mereka meminta Anda untuk menelpon balik” katanya dengan jelas. Wanita itu cukup fasih berbahasa Inggris.
“Oh. Okay~ thanks” ujar JMin sambil tersenyum kemudian pergi.
JMin meletakkan mantelnya begitu saja ditempat tidur saat ia sudah tiba dikamarnya. Dia langsung meraih telepon dan memencet nomor telepon orangtuanya di Derbyshire
            “ Hello” terdengar suara ibunya diujung telepon
            “Hello Mom. It’s me” jawab JMin.
            “Honey~ how are you? Ibu dengar kau sedang di Jerman sekarang. Kenapa tidak menelpon kami sangat kau berangkat nak?” seperti biasa, ibunya selalu khawatir. Sebenarnya ibunya tidak mengijinkannya pergi ke Edinburgh karena jauh, tapi JMin bersikeras karena ingin mencari pengalaman baru
            “ I’m fine Mom. Don’t worry about me. How about you and Dad?”
            “ We’re fine dear. Ayahmu sedang pergi kerumah Mr.Courtney. Pak tua itu sedang sakit lagi sekarang. Sungguh kasihan”
            “ Oh~ it’s bad. I hope he’ll get well soon. Mom, aku harus pergi sekarang. Biaya telponnya agak mahal disini”
            “ Honey~ jagalah kesehatanmu Nak. Hati-hatilah. Honey~ you know, I have bad feeling about you. I hope nothing bad will happen to you” suara ibunya terdengar makin cemas
            “ Okay. I’ll be fine Mom. I’ll take care myself”
            “Promise?”
            “ Yes, I promise”
            “ I love you my dear”
            “ I love you too Mom” kata JMin kemudian menutup teleponnya

#####

Jauh di kedalaman hutan Transylvania yang berkabut tebal
            Max selalu suka bila kembali ke Transylvania. Dia sudah menjelajahi seluruh kota di dunia tapi Transylvania selalu menjadi favoritnya terutama hutannya. Kemisteriusan Black Forest di Jerman mungkin menyamai hutan di Transylvania, tapi kabutnya,anginnya dan aromanya sangat berbeda.
            Max memasuki hutan semakin dalam. Suasana hutan menjadi semakin gelap meski di siang hari. Max melewati rangkaian tebing curam dengan jurang yang tampak tak berujung karena tertutup kabut. Dibalik tebing-tebing itu ada sebuah kastil batu yang tidak cukup besar namun telah berdiri kokoh selama berabad-abad
            Bukan. Bukan kastil Vlad Dracula yang terkenal itu. Tak ada seorang manusia pun yang tahu tentang keberadaan kastil itu karena manusia biasa tak akan mampu menempuh perjalanan hingga ke daerah tebing itu. Tidak ada penjaga yang menjaga pintu masuk kastil itu, tapi Max bisa dengan mudah membuka pintu batu yang cukup kokoh itu. Keadaan kastil lumayan gelap, hanya nyala obor yang menerangi setiap sudut dan koridor kastil.
            Max menaiki tangga yang terletak di koridor kanan. Dia melalui lorong-lorong yang cukup sempit hingga menemukan sebuah pintu besi diujung lorong. Dia mengetuk dua kali pintu itu, setelah terdengar jawaban dari dalam barulah ia masuk kedalam. Ruangan itu lumayan besar dibanding semua ruangan lain dikastil itu. Ruangan yang berbentuk bundar dengan sebuah meja bundar ditengah-tengahnya dan 8 kursi yang mengelilingi meja itu. Selain pintu Max, ada 7 pintu lainnya yang berasal dari lorong-lorong yang berbeda.
            “Maaf aku terlambat” kata Max dengan nada formal. Di ruangan itu telah ada tiga pria lain yang telah menunggu Max.
            “Duduklah” kata Decebal. Max pun duduk disebelah saudara kembarnya,Marcus. Ruangan itu cukup terang dibanding ruangan lain. Meski tidak berjendela, tapi ruangan ini cukup dingin. Ada sebuah kain besar terbuat dari sutra yang terpasang dibelakang salah satu bangku yang terlihat lebih megah dari bangku yang lain. Tepi kain itu didenim dengan benang emas berkualitas bagus. Kain itu bertuliskan huruf S dengan tiga gambar ular cobra kecil yang mengelilingi huruf tersebut. Bila diperhatikan dengan seksama,ketiga ular tersebut memiliki warna yang berbeda. Merah,ungu dan biru.
            “Constantine, Jay dan Reus telah berkhianat. Mereka lebih memilih untuk berpihak pada manusia daripada kaumnya sendiri” tanpa berlama-lama Decebal pun menjelaskan alasannya memanggil para saudara Strigoi-nya ke Transylvania. Dia sudah benar-benar marah saat ini ketika tahu ketiga saudaranya berkhianat.
            “Mereka diam-diam menjalin kerjasama dengan gereja untuk melawan kita” lanjut Decebal dengan geram. Pria itu mengepalkan tangannya dengan kuat. Semua orang yang ada diruangan itu terdiam mendengar kata-kata Decebal. Max tiba-tiba teringat ramalan Lad, bahwa akan terjadi perubahan yang besar di dinasti Strigoi saat ini dan manusia berperan didalamnya. Max penasaran dengan maksud Lad saat itu, tapi Lad lebih dulu menghilang sesuai dengan kebiasaannya.
            “Aku menemukan seseorang yang menarik. Seorang gadis manusia” Marcus membuka suara. Semua orang kini memandang kearah Marcus penasaran.
            “Aku tidak bisa mengenalinya sebagai Dhampir bila aku tidak berada sangat dekat dengannya. Dan dia memiliki tingkat kesensitifan yang lebih baik dari senormalnya Dhampir” Marcus melanjutkan. Max tertegun, fakta yang ditemui Marcus sama dengan fakta yang ia temui di hutan Jerman, fakta tentang Lycan berambut silver itu.
            “ Lycan itu juga. Dia juga seorang Dhampir, tapi aku baru bisa mengenalinya sangat berada cukup dekat dengannya.” sahut Max. Dia cukup heran saudaranya menemui kasus yang sama.
            “ Mungkinkah?” Dougal yang sedari tadi diam mulai angkat bicara. Dia memegang-megang dagunya seolah sedang memikirkan sesuatu.
            “Mungkin apa?” tanya Decebal penasaran
            “Mungkin darah mereka adalah Strigoi makanya kita hanya bisa mengenali mereka dari dekat” Dougal mengungkapkan pemikirannya. Max dan Marcus tampak sangat terkejut. Begitu pula dengan Decebal.
            “ Dan Moroi tidak bisa mengenali mereka sebagai Moroi atau Strigoi” lanjut Max.
            “ Bagaimana kau tahu? “ Decebal bertanya
            “ Kelompok Moroi yang aku suruh menghabisi Lycan itu tidak bisa mencium sama sekali darah Strigoi yang mengalir ditubuh Lycan itu padahal Moroi bisa mengenali kita” Max menuturkan teorinya. Semuanya menyimak dengan baik teori Max. Moroi mempunyai kontrak kuat dengan Strigoi. Mereka harus selalu patuh pada Strigoi atau akan menerima hukuman yang terburuk.
            “ Tunggu dulu, jika gadis manusia dan Lycan itu memang benar memiliki darah Strigoi, darimana mereka mendapatkannya” Marcus bertanya-tanya
“ Pasti mereka memiliki andil dalam hal itu ” cetus Dougal. Dia yakin Constantine, Jay dan Reus tahu tentang itu atau bahkan yang merencanakan semua itu. “Constantine cukup paham dengan kekuatan Lycan karena peristiwa 50 tahun lalu, pasti dia yang merencanakannya. Tapi bagaimana dengan gadis manusia itu? darimana dia mendapatkan darah Strigoinya?” batin Dougal penasaran

#####

Cadore Mountain, Belluno, Italy


            Hari hampir senja ketika Reus berjalan-jalan disekitar kaki pegunungan itu. Reus merapatkan mantelnya kemudian memasukkan kedua tangannya kedalam saku. Dia tahu kalau udara cukup dingin karena kabut tebal mulai menyelimuti pegunungan itu. Sebenarnya dia tidak perlu melakukan itu, karena ia tidak merasakan apapun. Tapi kini dia berada ditengah-tengah lusinan manusia, sehingga ia harus bersikap seperti mereka bila tidak ingin dicurigai.Beberapa turis terlihat berjalan kearah sebaliknya, ke arah kota untuk segera pulang.
            Reus menyusuri jalanan yang agak mendaki. Sudah semakin sedikit turis yang berada di titik dimana ia berada sekarang. Reus berhenti sejenak, bersikap seolah sedang mencari seseorang meski sebenarnya ia sudah tahu dimana keberadaan orang yang ia cari. Reus pun menghampiri seseorang yang mengenakan mantel biru tua yang cukup tebal yang sedang berdiri membelakanginya.
            “Jay belum datang?” tanya Reus sambil melihat sekeliling. Pria itu diam saja dan tetap menatap kearah kota Belluno yang mulai menampakkan cahaya lampu berwarna-warni.
            “JMin sedang berada di Jerman sekarang” kata Reus lagi mencoba menarik perhatian Constantine-pria itu. Dan Reus berhasil, Constantine kini memandang kearahnya
            “ Urusan ini sungguh merepotkan sebenarnya “ Constantine mendengus. Wajahnya tampak gusar. Usia Constantine mungkin tidak terlalu jauh dari Jay dan Reus, tapi karisma pria itu sanggup membuat Jay dan Reus begitu menghormatinya selayaknya seorang ayah.
            “ Kita tidak harus melindunginya kan?!” ujar Reus polos. Sebenarnya dia tidak suka dengan JMin karena sejak kelahirannya, Jay menjadi super perhatian pada gadis itu. Dan itu membuat Reus kesal karena beberapa kali membuat Jay melakukan hal yang ceroboh. Dan Reus sangat tidak bisa mentolerir kecerobohan apalagi itu bagi seorang Strigoi seperti Jay.
            “ Lalu untuk apa kau memberi tahu kalau JMin sedang berada di Jerman sekarang?” Constantine balik bertanya. Wajah Reus memerah,dia tidak bisa menjawab pertanyaan Constantine dan malah menunduk. Constantine tertawa kecil melihat tingkah Reus.
            “ Dalam hatimu yang terdalam, kau juga menyayangi JMin kan?!” goda Constantine. Reus terbelalak.
            “Ti-ti-tidak! Kenapa aku harus sayang padanya?” Reus membantah dengan sikap yang kaku. Dia memang tidak pandai melakukan hal itu. Berbeda dengan Jay yang bisa meniru hampir semua ekspresi manusia, Reus terkesan lebih kaku. Sehari-hari dia terlihat tanpa ekspresi.
            “Sayang pada siapa?” Jay tiba-tiba sudah berada disebelah Constantine. Dia memakai topi rajut hitam dan jaket hitam tebal. Reus langsung memalingkan muka dari kedua temannya,berusaha mengatur ekspresinya.
            “ JMin sedang berada di Jerman sekarang” Constantine mengulang kalimat Reus untuk memberitahu Jay.
            “ Dan kau tahu, Max baru saja dari sana. Kemungkinan besar ia bisa mengenali JMin” Reus menambahkan. Kali ini ekspresinya serius.
            “Apa? Aku harus ke Jerman sekarang!” seru Jay kemudian bersiap melakukan flit. Namun Constantine lebih dulu mencegahnya.
            “ Tunggu dulu. Jangan gegabah”
            “ Reus, kau yakin Max menyadari kehadiran JMin?” Constantine berbalik kearah Reus. Jay juga kini memandang kearah Reus
            “ Aku tidak tahu. Saat itu aku melihat JMin di Munich dan saat aku kembali ke Black Forest, aku mencium jejak Max sedikit. Itu artinya dia belum lama meninggalkan Black Forest kan?!” tutur Reus.
            “ Iya! Dan itu gawat!” seru Jay cemas. Dia benar-benar cemas, saat tahu Max dan JMin ada di Jerman meski ada kemungkinan kalau Max tidak mengenali JMin. Tapi Max pasti menyadarinya walau sesaat.
            “Kalau Max belum mengenali JMin, kita harus melakukan sesuatu untuk mennyembunyikan bau JMin sehingga mereka tidak bisa mengenalinya.” Constantine member saran
            “ Tapi dimana? Tidak mungkin kan kita menculiknya?!” kata Reus
            “ Kita bawa dia ke Lycan itu. Bau Lycan akan menutupi bau JMin” Constantine menjawab mantap.
            “ Tidak! Aku tidak mau JMin berdekatan dengan Lycan itu! Lebih baik kita bawa saja JMin bersama kita” bantah Jay. Dia tidak setuju dengan ide Constantine untuk membawa JMin ke tempat Lycan itu. Jay tidak mau JMin berdekatan dengan Lycan itu.
            “ Kau ingin JMin terbunuh? Kita tidak bisa begitu saja muncul didepannya lalu membawanya pergi. Mereka pasti tahu dan itu malah akan berbahaya” sergah Reus. Jay terdiam. Dia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Baginya yang terpenting sekarang adalah keselamatan JMin. Apapun yang akan terjadi, dia akan melakukan apa saja agar JMin tidak terluka.

            [ to be continued ]  

by @hiki0717

Glosarium

1.      Black Forest : Hutan hitam ( Schwarzwald ) adalah salah satu hutan lebat yang terletak di Jerman.
2.      Moroi : Mortal Vampir. Manusia yang sengaja digigit oleh Strigoi untuk dijadikan bawahan
3.      Strigoi : Immortal Vampir atau bisa disebut vampire generasi pertama
4.      Lycan : Werewolf
P.S       :
1. Phillip adalah Phillip Lahm ( FCBayern Munich’s captain ) rasanya kurang lengkap kalo ga masukin orang Jerman asli XD
2. Vincet kalo ga salah adalah western name-nya Sungmin. Bener ga?!^^
3. Max : Shim Max Changmin
4. Marcus : Marcus Cho Kyuhyun
           

3 comments:

  1. kak hiki buruan lanjutin ffnya hahaha gak sabar <333
    oya ini minu sayang jmin gak lebih dari adek kan?? *mulai jeles*

    ReplyDelete
  2. Hhahahahahha...
    Good job hik!!
    Suka ama ide n Alur critanya. And yes, vincent is my lovely husband's name. Vincent lee..
    Lagi2 suami2ku kau pasangkan ama kmbaranku hahahA

    ReplyDelete
  3. huwaaaa...
    3 kata aja:

    underworld - twilight - vampire knight

    ReplyDelete